Judul Materi :
Ke-NU-an
Penyaji : Muhammad Heri Prianto, SS.,
MA.
Kegiatan : DIKLATAMA IPNU-IPPNU Kec.
Kedamean Tahun 2018
A. Sejarah
Kelahiran Nadlatul ‘Ulama dan Perkembangannya
Jam’iyah
Nahdlatul Ulama berdiri pada tanggal 16 Rajab 1344 H., bertepatan dengan 31
Januari 1926 M. di Surabaya. Pendirinya
adalah KH. Wahab Hasbullah, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bisri Jombang, KH. Ridwan
Semarang dll.
Latar
belakang berdirinya Nahdlatul Ulama, tidak bisa dilepaskan dari keadaan Umat
Islam Indonesia saat itu, hal ini dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, Umat Islam Indonesia pada saat
itu sedang berada dalam cengkraman kaum penjajah Belanda, sehingga ketentraman umat
Islam dalam menjalankan ibadah banyak terganggu, sebab hak-hak mereka dirampas
oleh kaum penjajah. Kedua, munculnya gerakan pembaruan Islam yang berfaham
wahabi, dengan menentang tradisi umat Islam yang sudah sejak lama ada di
Indonesia, sebagai warisan dari para wali. Mereka beranggapan bahwa keislaman
masayarakat Nusantara waktu itu belum sempurna, karena penuh dengan praktek-praktek tahayul,
bid’ah dan khurafat. Tuduhan syirik pun tak jarang dialamatkan pada umat islam
Indonesia yang berpegang pada tradisi. Bukan hanya itu, mereka juga telah
membentuk kekuatan melalui pendirian organisasi-organisasi yang berfaham
Wahabi.
Selain
kedua faktor yang terjadi di Indonesia tadi, ada juga faktor internasional,
yaitu; kebijakan Raja Abdul Aziz bin Suud (Saudi Arabia) yang mematenkan satu
faham keagamaan saja, yaitu wahabi, dengan melakukan pelarangan bermadzab,
larangan berziarah ke makam Syuhada’ dan makam Rosulullah (Bahkan mereka
bermaksud menghancurkan kubah hijau makan Rosulullah SAW di Madinah), berdoa,
bertawasul dilarang keras, tidak boleh membaca sholawat Dalailul Khoirot sebab kesemuanya dipandang sirik dan bid’ah.
Parahnya lagi, Raja ini bermaksud mengadakan Muktamar Khilafah untuk
mengukuhkan dirinya, menggantikan daulah Usmaniyah, sebagai pusat kekuasaan
Islam. Umat Islam dari seluruh dunia diundang, termasuk juga Indonesia.
Delegasi
Indonesia diwakili oleh tokoh Syarikat Islam, Muhammadiyah dan dari kalangan
Pesantren. Namun dari kalangan
Pesantren, ditolak, sebab tidak mewakili organisasi. Padahal kalangan Pesantren
sangat berkepentingan dalam muktamar itu, mereka akan mengusulkan kepada raja
Suud, agar memberikan kebebasan dalam bermadzhab. Olah karena itu, KH. Wahab
Hasbullah, mengumpulkan tokoh-tokoh Pesantren se-Jawa dan Madura, yang
menghasilkan keputusan untuk membentuk komite Hijaz sebagai utusan resmi dari
kalangan Pesantren.
KH.Hasyim
Asyari menyarankan agar Komite Hijaz ini tidak hanya untuk sekedar urusan
Muktamar saja, tetapi dikembangkan menjadi organisasi permanen untuk
memperjuangkan dan melestarikan ajaran Islam Ahlus-sunnah wal-jama’ah. Akhirnya
usulan tersebut dispakati oleh para ulama yang hadir dalam pertemuan tersebut
dengan suara bulat, dan dibentuklah Jam’iyah Nahdlatul Ulama, pada tanggal 16
Rajab 1344 H. atau 31 Januari 1926 M.
Dengan
demikian, Organisasi NU ini, berdiri untuk mempertahankan ajaran Islam
Ahlus-sunnah wal-jama’ah yang mengakui dan mengikuti madzhab, juga sebagai
bentuk perlawanan terhadap kaum kolonial Belanda dalam perjuangan kemerdekaan.
Selain itu,
berdirinya NU merupakan ujung dari perjalanan dan perkembangan gagasan yang
muncul di kalangan para kyai. Sebab, sebelum lahir Nahdlatul Ulama, terlebih
dahulu muncul organisasi para pedagang yang bernama Nahdlatut Tujjar (tahun
1918), kelompok diskusi Tashwirul Afkar (1922) dan gerakan pendidikan Nahdlatul
Wathan.
B.
Bentuk dan Sistem Organisasi Nahdlatul Ulama
1.
Tujuan Nahdlatul Ulama
Dalam pasal
5 Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama dikatakan bahwa : “ Tujuan Nahdlatul Ulama
adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut faham Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dan
menurut salah satu dari madzhab empat untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang
demokratis dan berkeadilan demi kemaslahata dan kesejahteraan umat”.
Untuk
mewujudkan tujuan tersebut, maka Nahdlatul Ulama melaksanakan ikhtiar-ikhtiar
sebagai berikut :
a. Dibidang Agama; dengan mengupayakan
terlaksananya ajaran ahlus-sunah wal-jamaah dan menurut madzhab empat, dengan
melaksanakan dakwah islamiyah dan amar ma’ruf nahi munkar.
b. Dibidang
Pendidikan; pengajaran dan kebudayaan. Mengupayakan terwujudnya
pendidikan, pengajaran dan pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran
Islam untuk membina umat.
c. Dibidang Sosial; Mengupayakan kesejahteraan
lahir-batin rakyat Indonesia.
d. Dibidang Ekonomi;
Mengusahakan pembangunan ekonomi untuk pemerataan kesempatan berusaha dan
menikmati pemangunan, dengan penguatan ekonomi kerakyatan..
e. Mengembangkan
usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat banyak guna terwujudnya khaira
umma.
2.
Struktur keorganisasian Nahdlatul ‘Ulama
Struktur organisasi Nahdlatul Ulama terdiri dari :
a. Pengurus Besar,
Berkedudukan di ibukota Negara
b. Pengurus Wilayah,
berkdudukan di ibukota propinsi
c. Pengurus Cabang,
berkdudukan di ibukota kabupaten/kota
d. Pengurus cabang
istimewa, berkedudukan di luar negeri
e. Pengurus Majlis
Wakil cabang, berkedudukan di ibukota kecamatan
f. Pengurus Ranting,
berkedudukan di ibukota kelurahan
Adapun, kepengurusan Nahdlatul ulama terdiri dari :
1. Mustasyar;
penasehat yang terdapat di tiap tingkat kepengurusan (kecuali tingkat ranting)
2. Syuriyah; adalah
pimpinan tertinggi nahdlatul Ulama
3. Tanfidziah; adalah
pelaksana kebijakan organisasi
3.
Perangkat Organisasi Nahdlatul Ulama’
Perangkat organisasi Nahdlatul ‘Ulama terdiri atas:
1. Lembaga
Adalah
perangkat departemen organisasi Nahdlotul Ulama’ yang berfungsi sebagai
pelaksana kebijakan Nahdlotul Ulama’, khususnya yang berkaitan dengan bidang
tertentu. Lembaga-lembaga tersebut adalah :
a.
Lembaga Dakwah Nahdlotul Ulama’ (LDNU) bertuigas melaksanakan kebijakan
Nahdlotul Ulama’ dibidang penyiaran agama islam Ahlussunah Wal Jama’ah.
b.
Lembaga pendidikan Ma’arif Nahdlotul Ulama’ (LP. MA”ARIF. NU) bertugas
melaksanakan kebijakan Nahdlotul Ulama’ dibidang pendidikan dan pengajaran,
baik formal maupun non formal selain pondok pesantren.
c.
Lembaga Sosial Mabarot Nahdlotul Ulama’ (LS MABAROT NU) bertugas
melaksanakan kebijakan Nahdlotul Ulama’ di bidang sosial dan kesehatan.
d.
Lembaga Perekonomian Nahdlotul Ulama’ (LP. NU) bertugas melaksanakan
kebijakan Nahdlotul Ulama’ di bidang pengembangan ekonomi warga Nahdlotul
Ulama’.
e. Robithoh Ma’had (RMI) bertugas
melaksanakan kebijakan Nahdlotul Ulama’ di bidang pengembangan pondok
pesantren.
f.
Lembaga Kemasyarakatan Keluarga Nahdlotul Ulama’ (LKKNU) bertugas
melaksanakan kebijakan Nahdlotul Ulama’ di bidang kemaslahatan keluarga,
kependidikan dan lingkungan hidup.
g.
Lembaga Tamir
Masjid Indonesia (LTMI) bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlotul Ulama’ di
bidang pengembangan dan kemakmuran masjid.
h.
Lembaga kajian dan pengembangan sumber daya manusia (LAKPESDAM) bertugas
melaksanakan kebijakan Nahdlotul Ulama’ dalam bidang kajian dan pengembangan
sumber daya manusia.
i.
Lembaga Seni Budaya Nahdlotul Ulama’ (LESBUMI NU) bertugas melajsanakan
kebijakan Nahdlotul Ulama’ di bidang seni dan budaya.
j.
Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlotul Ulama’ (LPBH NU) bertugas
melaksanakan kebijakan Nahdlotul Ulama’ di bidang Penyuluhan dan bantuan hokum.
k.
Jamiatul Quro’wal hiuffad bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlotul
Ulama’ di bidang pengembangan seni baca dan metode pengajaran dan hafalan Al
Qur’an.
2. Lajnah
Adalah perangkat organisasi Nahdlotul Ulama’ untuk melaksanakan program
Nahdlotul Ulama’ yang memerlukan penanganan khusus.
a. Lajnah Falaqiyah bertugas mengurus masalah
hisab dan ru’yah.
b. Lajnah Ta’lif Wanafsir bertugas di bidang
penerjemahan, penyusunan dan penyebaran kitab-kitab menurut faham Ahlussunah
Wal Jama’ah.
c. Lajnah Auqof bertugas menghimpun dan
mengelola tanah serta bangunan yang diwakafkan kepada Nahdlotul Ulama’.
d. Lajnah Waqof Infaq dan Shodaqoh bertugas
menghimpun, mengelola dan mentasarufkan zakat, infaq, dan shodaqoh.
e. Lajnah Bahtsul Masail Diniyah, bertugas
menghimpun, membahas dan memecahkan masalah maudzuiyah dan waqiiyah yang harus
segera mendapat kepastian hokum.
3. Badan Otonom (Banom)
Adalah perangkat organisasi Nahdlotul Ulama’ yang berfungsi membantu melaksanakan
kebijakan Nahdlotul Ulama’, khususnya yang berkaitan dengan kelompok masyarakat
tertentu yang beranggotakan perseorangan.
1. Jam’iyah ahli thoriqoh mu’tabaroh annahdiyah,
badan otonom yang menghimpun pengikut aliran thoriqoh yang Mukhtabar di lingkungan
Nahdlotul Ulama’.
2. Muslimat Nahdlotul Ulama’ (Mulimat NU)
menghimpun anggota perenpuan Nahdlotul Ulama’.
3. Fatayat Nahdlotul Ulama’ (Fatayat NU)
menghimpun anggota perempuan muda Nahdlotul Ulama’.
4. Gerakan Pemuda Ansor (GP ANSOR) menghimpun
anggota pemuda Nahdlotul Ulama’
5. Ikatan
Pelajar Nahdlotul Ulama’ (IPNU) menghimpun pelajar, santri, dan mahasiswa
laki-laki.
6. Ikatan Pelajar Putri Nahdlotul Ulama’ (IPPNU)
menghimpun pelajar, santri dan mahasiswa perempuan.
7. Ikatan Sarjana Nahdlotul Ulama’ (ISNU)
menghimpun para sarjana dan kaum intelektual di kalangan Nahdlotul Ulama’.
8. Pagar Nusa menghimpun para anggota Nahdlotul
Ulama’dalam bidang bela diri pencak silat.
C. Pengertian dan Kedudukan Ulama dalam
Nahdlatul Ulama
1. Pengertian Ulama
Secara bahasa, kata
‘ulamâ’ adalah bentuk plural dari kata ‘âlim yang merupakan ism fâ‘il dari kata
dasar ‘ilm. Jadi âlim adalah orang yang berilmu. Kata ‘ulamâ’ ini kemudian
diserap ke dalam Bahasa Indonesia untuk arti orang yang ahli dalam hal atau
dalam pengetahuan agama Islam. Selain ketinggian derajat para ulama, Alquran
juga menyebutkan sisi mentalitas dan karakteristik bahwa para ulama adalah orang-orang
yang takut kepada Allah. Sebagaimana disebutkan dalam QS. Fâtir [35]: 28,
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanya ulama”.
Sedangkan dalam hadis
yang diriwayatkan Abû Dardâ’ disebutkan bahwa para ulama adalah orang-orang
yang diberi peninggalan dan warisan oleh
para nabi, “Dan para ulama adalah warisan (peninggalan) para nabi. Para nabi
tidak meninggalkan warisan berupa dinar (emas), juga dirham (perak), akan
tetapi mereka meninggalkan warisan berupa ilmu, maka barang siapa mengambilnya,
maka ia telah mengambil bagiannya secara sempurna”.
ulama adalah mereka yang mewarisi nabi. KH.
Ahmad Siddiq menyatakan bahwa yang diwarisi ulama dari nabi adalah ilmu dan
amaliahnya yang tertera dalam Alquran dan hadis. Dengan batasan ini, ahli-ahli
ilmu lain yang tidak berhubungan dengan Alquran dan hadis tidak masuk dalam kategori
ulama. KH. Ahmad Siddiq mengistilahkan kelompok ahli itu sebagai zu‘amâ’
2. Kiai menurut Masyarakat Nahdlatul Ulama’
Menurut pendapat Abdul Qodim, kata kiai
diambil dari bahasa Persia (Irak), yaitu dari kata kia-kia yang berarti senang
melakukan perjalanan atau disebut juga orang terpandang. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa kiai itu orang yang terpandang dalam arti disegani. Sedangkan
senang berjalan-jalan itu berarti berdakwah.
Dalam konteks
keindonesiaan, menurut pendapat KH. Mustofa Bisri, atau yang kerap disapa Gus
Mus, gelar Kiai mempunyai definisi “mereka yang memperhatikan umat dengan
pandangan kasih sayang” (alladhîn yanzurûn al-ummah bi ‘ayn al-rahmah).
Ungkapan Gus Mus ini sesuai dengan asal mula kata kiai, yaitu kata ki dan yai.
Dalam kebudayaan kita, setiap hal yang memiliki kelebihan dalam sisi spiritual
bisa digelari Kiai, tidak hanya sosok manusia, bahkan benda anorganik pun bisa
disebut Kiai, sebagaimana Kiai Nogososro, sebutan ini adalah untuk sebatang pohon
yang dikeramatkan oleh masyarakat Jawa Tengah di wilayah Pantura.
Definisi Kiai
menurut KH. Abdullah Faqih Langitan adalah sinonim dari kata Shaykh dalam
bahasa Arab. Secara terminologi, kata Shaykh sebagaimana disebutkan dalam kitab
al-Bâjurî adalah “orangorang yang telah sampai pada derajat keutamaan”.
Pengertian tersebut karena selain mereka adalah orang yang pandai (‘âlim) dalam
masalah agama, mereka mengamalkan ilmu itu untuk dirinya sendiri dan
mengajarkan kepada murid-muridnya. Penyebutan Kiai itu berasal dari inisiatif masyarakat,
bukan dari dirinya sendiri atau media massa.
Sementara itu,
makna Kiai atau Sheykh
dalam pengertian etimologi adalah orang-orang yang sudah tua umurnya atau
orang-orang yang mempunyai kelebihan. Contoh dalam hal ini adalah orang yang
memiliki spesialisasi mengobati orang (nyuwuk), tapi tidak pandai dalam masalah
agama. Makanya, ada adagium al-‘âlim shaykh wa law kân s}aghir wa al-jâhil
s}aghîr wa law kân shaykh (Orang pandai itu adalah shaykh walaupun ia masih
kecil (muda) dan orang bodoh itu kecil walaupun sudah tua usianya).
Jadi, gelar
Kiai sebenarnya memang diperuntukkan bagi mereka yang memiliki kelebihan dalam
hal spiritual, dan kemudian diakui masyarakat. Berbeda dengan ulama yang
merupakan bentuk jamak dari kata ‘âlim (orang yang berilmu), atau istilah kita
“ilmuwan”. Gelar Ulama ini adalah gelar religius, sedangkan Kiai tidak. Kata
Ulama jelas-jelas disebukan dalam Alquran QS. Fât}ir [35]: 28, “Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanya ulama”.
Ibnu Qoyim Isma’il
menyatakan bahwa di tengah perkembangan masyarakat Indonesia pada umumnya
dijumpai beberapa gelar sebutan yang diperuntukkan bagi ulama. Misalnya, di
daerah Jawa Barat (Sunda) orang menyebutnya Ajengan, di wilayah Sumatera Barat
disebut Buya, di daerah Aceh dikenal dengan panggilan Teungku, di Sulawesi
Selatan dipanggil dengan nama Tofanrita, di daerah Madura disebut dengan Nun atau
Bendara yang disingkat Ra, dan di Lombok atau seputar daerah wilayah Nusa
Tenggara orang memanggilnya dengan Tuan Guru. Khusus bagi masyarakat Jawa
disebut Kiai, bahkan ada yang menyebutnya dengan gelar Wali.
3. Kedudukan Ulama dalam NU
Secara khusus
kedudukan ulama dalam organisasi Nahdlatul Ulama sangat penting karena
sokogurunya dan kekuatan sentral ada pada para ulama. Ulama bukanlah pemimpin
yang dipilih dengan suara terbanyak, bukan yang diangkat oleh persidangan
kongres. Akan tetapi kedudukan mereka dalam kebatinan rakyat yang mereka
pimpin, jauh lebih teguh dan suci dari pemimpin pergerakan yang berorganisasi,
atau Pegawai Pemerintah yang mana pun juga. Oleh karena itu pemilihan kata
kepada ulama di dalam sebutan kata Nahdlatul Ulama merupakan tiang utama yang
didasarkan atas dua pertimbangan: 1. Sebagai organisasi keagamaan, harus
memilih kekuatan sentralnya pada tokoh-tokoh yang paling kuat dan paling dapat
dipertanggungjawabkan jiwa, mental, ilmu, amal, dan akhlak keagamaannya, yaitu
para ulama. 2. Seorang ulama yang paling kecil lingkaran pengaruhnya pun selalu
mempunyai kewibawaan dan pengaruh atas santri/muridnya dan para bekas/alumni
yang sudah pulang kampung dengan posisi dan potensinya masing-masing. Bahkan
para ulama memiliki jalur kewibawaan langsung dengan masyarakat sekelilingnya
yang dapat menembus batas-batas kelompok organisasi, batas-batas kedaerahan sampai
jauh ke pelosok tanah air, malah bisa lebih luas dari itu.
Dengan ilmunya,
para ulama menjadi tinggi kedudukan dan martabatnya, menjadi agung dan mulia
kehormatannya sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Mujâdilah [58]: 11;
“Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang diberi ilmu beberapa
derajat”.16 Bahkan, pengetahuannya inilah yang menyebabkan ulama mempunyai
nilai tambah dari pada orang-orang awam seperti ditegaskan Allah dalam QS.
al-Zumar [39]: 9; “Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?”.17 Di antara keutamaan yang diberikan
kepada ulama adalah bahwa para malaikat akan membentangkan sayapnya karena
tunduk akan ucapan mereka, dan seluruh makhluk hingga ikan yang berada di air pun
ikut memohonkan ampun baginya. Para ulama itu adalah pewaris nabi, dan
sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka
wariskan hanya ilmu, dan pewaris sama kedudukannya dengan yang mewariskannya,
maka bagi pewaris mendapatkan kedudukan yang sama dengan yang mewariskannya
itu. Para ulama telah mewarisi ilmu yang telah dibawa oleh para nabi, dan
melanjutkan peranan dakwah di tengah-tengah umatnya untuk menyeru kepada Allah
dan ketaatan kepada-Nya. Juga melarang dari perbuatan maksiat serta membela
agama Allah. Mereka berkedudukan seperti rasul-rasul antara Allah dan
hamba-hamba-Nya dalam memberi nasehat, penjelasan dan petunjuk, serta untuk
menegakkan hujjah, menepis alasan yang tak berdalih dan menerangi jalan.
Sedangkan secara
khusus kedudukan ulama dalam organisasi Nahdlatul Ulama sangat penting karena
sokogurunya dan kekuatan sentral ada pada para ulama. Ulama bukanlah pemimpin
yang dipilih dengan suara terbanyak, bukan yang diangkat oleh persidangan
kongres. Akan tetapi kedudukan mereka dalam kebatinan rakyat yang mereka
pimpin, jauh lebih teguh dan suci dari pemimpin pergerakan yang berorganisasi,
atau Pegawai Pemerintah yang mana pun juga.
Oleh karena itu
pemilihan kata kepada ulama di dalam sebutan kata Nahdlatul Ulama merupakan
tiang utama yang didasarkan atas dua pertimbangan: 1. Sebagai organisasi
keagamaan, harus memilih kekuatan sentralnya pada tokoh-tokoh yang paling kuat
dan paling dapat dipertanggungjawabkan jiwa, mental, ilmu, amal, dan akhlak
keagamaannya, yaitu para ulama. 2. Seorang ulama yang paling kecil lingkaran
pengaruhnya pun selalu mempunyai kewibawaan dan pengaruh atas santri/muridnya
dan para bekas/alumni yang sudah pulang kampung dengan posisi dan potensinya
masing-masing. Bahkan para ulama memiliki jalur kewibawaan langsung dengan
masyarakat sekelilingnya yang dapat menembus batas-batas kelompok organisasi,
batas-batas kedaerahan sampai jauh ke pelosok tanah air, malah bisa lebih luas
dari itu.
4. Kategori Ulama menurut Nahdlatul Ulama
KH. Muchith
Muzadi, salah seorang ulama dari NU membuat kategorisasi ulama atas dasar ilmu
yang secara garis besar sebagai berikut:
a. Ulama ahli Alquran ialah ulama yang
menguasai ilmu qirâ’at, asbâb alnuzûl, nasikh mansûkh, dan sebagainya. Ulama
tafsir adalah bagian dari ini yang memiliki kemampuan menjelaskan maksud
Alquran.
b. Ulama ahli hadis yaitu ulama yang
menguasai ilmu hadis, mengenal dan hafal banyak hadis, mengetahui bobot
kesahihannya, asbâb alwurûd (situasi datangnya hadis) dan sebagainya.
c. Ulama Ushûl al-Dîn ialah ulama yang ahli dalam
akidah Islam secara luas dan mendalam, baik dari segi filsafat, logika, dalil
aqlî, dan dalil naqlî.
d. Ulama Tasawuf adalah ulama yang
menguasai pemahaman, penghayatan, dan pengamalan akhlak karimah, lahir dan
bat}in serta metodologi pencapaiannya.
e. Ulama Fikih adalah ulama yang
memahami hukum Islam, menguasai dalil-dalilnya, metodologi penyimpulannya dari
Alquran dan hadis, serta mengerti pendapat-pendapat para ahli lainnya.
f. Ahli-ahli yang lain, ahli pada berbagai
bidang yang diperlukan sebagai sarana pembantu untuk dapat memahami Alquran dan
hadis, seperti ahli bahasa, ahli mantik, ahli sejarah, dan sebagainya. Merujuk
pada arti ulama-baik secara bahasa dan istilah- dan kategorisasi ulama menurut
Kiai Muchit Muzadi, ternyata selama ini yang dipahami masyarakat telah
mengalami “kecelakaan” pemahaman. Menurut kebanyakan orang, yang dimaksudkan
sebagai ulama hanya orangorang yang mumpuni di bidang agama, meliputi tafsir,
tasawuf, akidah, muamalah, dan sejenisnya. Bahkan ada yang menambahkan ulama
adalah orang ahli agama yang memiliki pondok pesantren (sekaligus memiliki
santri).
Sekian……..Semoga memjadi ilmu yg bermanfaat. Amin
NAHDLATUL ULAMA

NAHDLATUL ULAMA adalah organisasi sosial
keagamaan yang terbentuk pada tanggal 18 Rajab 1345 H./ 31 JANUARI 1926 M.
Beberapa pendirinya adalah KH. Hasyim Asy'ari, KH. Bisri Syamsuri, KH. A. Wahab
Chasbullah dan anggota komite Hijaz. Bermula dari Komite Hijaz yang terbentuk
kala itu kemudian berkembang menjadi organisasi kebangkitan Ulama atau yang
lebih dikenal dengan NAHDLATUL ULAMA yang sampai saat ini telah membantu
mencerdaskan bangsa melalui dunia pendidikan beserta ulama-ulama yang
berakhlakul karimah.
Sejarah
Keterbelakangan, baik secara mental, maupun
ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat
kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan
martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang
muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan
memang terus menyebar ke mana-mana--setelah rakyat pribumi sadar terhadap
penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya,
muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih
melawan kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk
organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916.
Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul
Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum
dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar,
(Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki
perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar,
selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang
berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas
tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua
peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi
karena dianggap bi'dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat
dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan
Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya,
kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan
bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren
dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya
kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam
Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan
tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk
menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan
peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang
dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun
dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja
Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas
dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran
internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan
kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta
peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi
yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk
membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk
mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai
kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926).
Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini,
maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian
juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut
kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan
warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan
politik.
Riwayat Perjuangan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama'
Setelah kaum Wahabi melalui pemberontakan yang mereka lakukan pada tahun
1925 berhasil menguasai seluruh daerah Hejaz, maka mereka mengubah nama negeri
Hejaz dengan nama Saudi Arabia. Dengan dukungan sepenuhnya dari raja mereka
yang pertama, Ibnu Sa'ud, mereka mengadakan perombakan-perombakan secara
radikal terhadap tata cara kehidupan masyarakat. Tata kehidupan keagamaan,
mereka sesuaikan dengan tata cara yang dianut oleh golongan Wahabi, yang antara
lain adalah ingin melenyapkan semua batu nisan kuburan dan meratakannya dengan
tanah.
Keadaan tersebut sangat memprihatinkan bangsa
Indonesia yang banyak bermukim di negeri Hejaz, yang menganut paham Ahlus
Sunnah Wal Jama'ah,dengan memilih salah satu dari empat madzhab. Mereka sangat
terkekang dan tidak mempunyai kebebasan lagi dalam menjalankan ibadah sesuai
dengan paham yang mereka anut. Hal ini dianggap oleh bangsa Indonesia sebagai
suatu persoalan yang besar.
Persoalan tersebut oleh bangsa Indonesia tidak
dianggap sebagai persoalan nasional bangsa Arab saja, melainkan dianggap
sebagai persoalan internasional, karena menyangkut kepentingan ummat Islam di
seluruh dunia. Oleh karena itu, para tokoh ulama di Jawa Timur menganggap
penting untuk membahas persoalan tersebut. Dipelopori oleh alm. KH. Abdul Wahab
Hasbullah dan almarhum Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari, diadakanlah
pertemuan di langgar H. Musa Kertopaten Surabaya. Pada pertemuan tersebut
dilahirkan satu organisasi yang diberi nama Comite Hejaz, yang anggotanya
terdiri dari para tokoh tua dan para tokoh muda.
Semula Comite Hejaz bermaksud akan mengirimkan
utusan ke tanah Hejaz untuk menghadap raja Ibnu Sa'ud. Akan tetapi oleh karena
satu dan lain hal pengiriman utusan ditangguhkan, dan sebagai gantinya hanya
mengirimkan telegram kepada raja Ibnu Sa'ud.
Pada tanggal 31 Januari 1926 M. atau 16 Rajab
1345 H, hari Kamis, di lawang Agung Ampel Surabaya, diadakan pertemuan yang
disponsori oleh Comite Hejaz sebagai realisasi dari gagasan yang timbul pada
pertemuan sebelumnya. Pada pertemuan ini, lahirlah organisasi baru yang diberi
nama "JAM'IYYAH NAHDLATUL ULAMA" dengan susunan pengurus HB (Hoof
Bestuur) sebagai berikut:
Ra'is Akbar : Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari
Wakil Ra'is : KH. Said bin Shalih
Katib Awwal : KH. Abdul Wahab Hasbullah
Katib Tsani : Mas H. Alwi Abdul Aziz
A'wan : 1. KH. Abdul Halim
(Leuwimunding)
2. KH. Ridlwan Surabaya (pencipta lambang NU)
3. KH. Bisri Sansuri, Denanyar, Jombang.
4. KH. Said.
5. KH. Abdullah Ubaid, Surabaya.
6. KH. Nahrawi Thahir, Malang.
7. KH. Amin, Surabaya.
8. KH. Kholil Masyhuri, Soditan, Lasem, Jateng
Musytasyar : 1. KH. Asnawi, Kudus
2. KH. Ridlwan, Semarang.
3. KH. Nawawi, Sidogiri, Pasuruan.
4. KH. Doro Muntoho, Bangkalan.
5. KH. Ahmad Ghonaim Al Misri.
6. KH. Hambali, Kudus.
Presiden : H. Hasan Gipo
Penulis : H. Sadik alias Sugeng
Yudodiwiryo
Bendahara : H. Burhan
Komisaris : H. Saleh Syamil
H. Ihsan
H. Nawawi
H. Dahlan Abd. Qohar
Mas Mangun.
Kehadiran Jam'iyyah Nahdlatul Ulama'
dimaksudkan sebagai suatu organisasi yang dapat mempertahankan ajaran Ahlus
Sunnah Wal Jama'ah dari segala macam intervensi (serangan) golongan-golongan
Islam di luar Ahlus Sunnah Wal Jama'ah di Indonesia pada khususnya dan di
seluruh dunia pada umumnya; dan bukan hanya sekedar untuk menghadapi golongan
Wahabi saja sebagaimana Comite Hejaz. Disamping itu juga dimaksudkan sebaga
organisasi yang mampu memberikan reaksi terhadap tekanan-tekanan yang diberikan
oleh Pemerintah Penjajah Belanda kepada ummat Islam di Indonesia.
Perjalanan NU 1926-1929
Setelah Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' lahir pada
tanggal 31 Januari 1926 M, maka Comite Hejaz dibubarkan. Sedangkan semua tugas
Comite Hejaz yang belum dilaksanakan, dilimpahkan seluruhnya kepada Jam'iyyah
NU. Alhamdulillah, meskipun Jam'iyyah NU baru saja lahir, ternyata telah mampu
melaksanakan tugas-tugas yang berat; baik tugas yang dilimpahkan oleh Comite
Hejaz, maupun tugas yang diharapkan oleh ummat Islam kepadanya. Tugas-tugas
tersebut antara lain:
1. Pada bulan Februari 1926 M. setelah berhasil
menyelenggarakan kongres Al Islam di Bandung yang dihadiri oleh tokoh-tokoh
organisasi Islam selain NU, seperti: PSII, Muhammadiyah dan lain-lainnya.
Diantara keputusan kongres tersebut adalah mengirimkan dua orang utusan, yaitu:
H.Umar Said Tjokroaminoto dari PSII dan KH. Mas Mansur dari Muhammadiyah, ke
Muktamar Alam Islam yang diselenggarakan oleh raja Ibnu Saud (raja Saudi
Arabia) di Makkah. Disamping itu, Jam'iyyah NU juga mengirimkan utusan yang
khusus membawa amanat NU, yaitu: KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Ahmad
Ghonaim Al Misri. Alhamdulillah kedua utusan ini berhasil dengan baik.
Kedua beliau ini pulang dengan membawa surat dari raja Sa'ud ke
Indonesia tertanggal 28 Dzul Hijjah 1347 H./ 13 Juni 1928 M., nomor: 2082, yang
isinya antara lain menyatakan bahwa raja Ibnu Sa'ud menjanjikan akan membuat
satu ketetapan yang menjamin setiap ummat Islam untuk menjalankan Agama Islam
menurut paham yang dianutnya.
2. Sesuai dengan yang diharapkan oleh bangsa
Indonesia, maka sejak lahir, Jam'iyyah NU telah berani memberikan reaksi secara
aktif terhadap rencana pemerintah Penjajah Belanda mengenai:
1. Ordonansi Perkawinan atau Undang-Undang
Perkawinan, yang isinya mengkombinasikan hukum-hukum Islam dengan hukum-hukum
yang dibawa Belanda dari Eropa.
2. Pelimpahan pembagian waris ke Pengadilan
Negeri (Nationale Raad) dengan menggunakan ketentuan hukum di luar Islam.
3. Persoalan pajak rodi, yaitu pajak yang
dikenakan kepada warga negara Indonesia yang bermukim di luar negeri.
4. Dan lain-lainnya.
Walhasil, meskipun NU tidak pernah menyatakan
sebagai Partai Politik, namun yang ditangani adalah soal-soal politik.
1929-1942
Pada tanggal 5 September 1929 Jam'iyyah NU
mengajukan Anggaran Dasar (Statuten) dan Anggaran Rumah Tangga (Huishoudelijk
Reglemen) yang telah disusun kepada Pemerintah Hindia Belanda. Dan pada tanggal
6 Februari 1930 mendapat pengesahan dari Pemerintah Hindia Belanda sebagai
organisasi resmi dengan nama: "PERKUMPULAN NAHDLATUL ULAMA" untuk
jangka waktu 29 tahun terhitung sejak berdiri, yaitu: 31 Januari 1926.
Hoofbestuur (Pengurus Besar) Nahdlatul Ulama'
juga berusaha membuat lambang NU dengan jalan meminta kepada para Kyai untuk
melakukan istikharah. Dan ternyata Almarhum KH. Ridlwan Abdullah, Bubutan
Surabaya berhasil. Dalam mimpi, beliau melihat gambar lambang itu secara
lengkap seperti lambang yang sekarang; tanpa mengetahui makna simbol-simbol
yang terdapat dalam lambang tersebut satu-persatu.
Setelah berdiri secara resmi, Nahdlatul Ulama'
mendapat sambutan dari seluruh masyarakat Indonesia yang sebagian besar
berhaluan salah satu dari madzhab empat. Sehingga dalam waktu yang relatif
singkat, 4 sampai 5 bulan, sudah terbentuk 35 cabang. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor, yang antara lain:
1. Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' dipimpin oleh
para ulama' yang menjadi guru dari para kyai yang tersebar di seluruh
Nusantara, khususnya Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari.
2. Kesadaran ummat Islam Indonesia akan
keperluan organisasi Islam sebagai tempat menyalurkan aspirasi dan sebagai
kekuatan sosial yang tangguh dalam menghadapi tantangan dari luar.
Sebagai organisasi sosial yang harus menangani
semua kepentingan masyarakat, Nahdlatul Ulama' memandang sangat perlu untuk
membentuk kader-kader yang terdiri dari generasi muda yang sanggup melaksanakan
keputusan-keputusan yang telah diambil oleh NU. Untuk itu, pada tanggal 12
Februari 1938, atas prakarsa KH. Abdul Wahid Hasyim selaku konsul Jawa Timur,
diselenggarakan konferensi Daerah Jawa Timur yang menelorkan keputusan untuk
menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu mendirikan madrasah-madrasah,
disamping sistem pendidikan pondok pesantren. Madrasah-madrasah yang didirikan
itu terdiri dari dua macam, yaitu:
- Madrasah Umum, yang terdiri dari:
- Madrasah Awwaliyah, dengan masa belajar 2
tahun.
- Madrasah Ibtidaiyyah, dengan masa belajar 3
tahun.
- Madrasah Tsanawiyyah, dengan masa belajar 3
tahun.
- Madrasah Mu'allimin Wustha, dengan masa
belajar 2 tahun.
- Madrasah Mu'allimin 'Ulya, dengan masa
belajar 3 tahun.
- Madrasah Kejuruan (Ikhtishashiyyah), yang
terdiri dari:
- Madrasah Qudlat (Hukum).
- Madrasah Tijarah (Dagang).
- Madrasah Nijarah (Pertukangan).
- Madrasah Zira'ah (Pertanian).
- Madrasah Fuqara' (untuk orang-orang fakir).
Kelahiran Al Majlis Al Islamiy Al A'la (MIAI)
Pada masa penjajahan Belanda, ummat Islam
Indonesia selalu mendapat tekanan-tekanan dari pemerintah penjajah Belanda,
disamping penghinaan-penghinaan yang dilakukan oleh golongan di luar Islam
kepada agama Islam, Al Qur'an dan Nabi Besar Muhammad saw.. Untuk menghadapi
hal tersebut, maka Nahdlatul Ulama' memandang perlu untuk mempersatukan seluruh
potensi ummat Islam di Indonesia.
Pada tahun 1937 Nahdlatul Ulama' telah
memelopori persatuan ummat Islam di seluruh Indonesia dengan membidani
kelahiran dari Al Majlis al Islamiy al A'la Indonesia (MIAI), dengan susunan
dewan sebagai berikut:
Ketua Dewan : KH. Abdul Wahid Hasyim,
dari NU
Wakil Ketua Dewan : W. Wondoamiseno, dari PSII
Sekretaris (ketua) : H. Fakih Usman, dari
Muhammadiyah
Penulis : S.A. Bahresy, dari
PAI
Bendahara : 1. S. Umar Hubeis, dari Al Irsyad
2. K.H.
Mas Mansur, dari Muhammadiyah
3. Dr.
Sukiman, dari PII
Adapun tujuan perjuangan yang akan dicapai oleh
MIAI antara lain sebagai berikut:
- Menggabungkan segala perhimpunan ummat Islam
Indonesia untuk bekerja bersama-sama.
- Berusaha mengadakan perdamaian apabila timbul
pertikaian di antara golongan ummat Islam Indonesia, baik yang telah tergabung
dalam MIAI maupun belum.
- Merapatkan hubungan antara ummat Islam
Indonesia dengan ummat Islam di luar negeri.
- Berdaya upaya untuk keselamatan agama Islam
dan ummatnya.
- Membangun Konggres Muslimin Indonesia (KMI)
sesuai dengan pasal 1 Anggaran Dasar MIAI.
1942-1952
Kelahiran Majlis Syura Muslimin Indonesia
(MASYUMI)
Pada masa penjajahan Jepang, MIAI masih diberi
hak hidup oleh Pemerintah Penjajah Jepang. Malah suara MIAI tetap diijinkan
untuk terbit selama isinya mengenai hal-hal berikut:
- Menyadarkan rakyat atas keimanan yang
sebenar-benarnya dan berusaha dengan sekuat tenaga bagi kemakmuran bersama.
- Penerangan-penerangan dan tafsir Al Qur'an.
- Khutbah-khutbah dan pidato-pidato keagamaan
yang penting dari para ulama' atau kyai yang terkenal.
- Memberi keterangan kepada rakyat, bagaimana
daya upaya Dai Nippon yang sesungguhnya untuk membangunkan Asia Timur Raya.
- Memperkenalkan kebudayaan Dai Nippon dengan
jalan berangsur-angsur.
Akan tetapi setelah Letnan Jendral Okazaki
selaku Gunseikan pada tanggal 7 Desember 1942 berpidato di hadapan para ulama'
dari seluruh Indonesia yang dipanggil ke istana Gambir Jakarta, yang isinya
antara lain: Akan memberikan kedudukan yang baik kepada pemuda-pemuda yang
telah dididik secara agama, tanpa membeda-bedakan dengan golongan lain asal
saja memiliki kecakapan yang cukup dengan jabatan yang akan dipegangnya, maka
sekali lagi Nahdlatul Ulama' tampil ke depan untuk memelopori kalahiran dari
Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI) sebagai organisasi yang dianggap
mampu membereskan segala macam persoalan kemasyarakatan; baik yang bersifat
sosial maupun yang bersifat politik, agar keinginan untuk menuju Indonesia
Merdeka, bebas dari segala macam penjajahan segera dapat dilaksanakan. Dan
setelah Masyumi lahir, maka MIAI pun dibubarkan.
Pembentukan laskar rakyat
Pemerintah Penjajah Jepang memang mempunyai
taktik yang lain dengan Penjajah Belanda terhadap para ulama' di Indonesia.
Dari informasi yang diberikan oleh para senior yang dikirim oleh pemerintah
Jepang ke Indonesia jauh sebelum masuk ke Indonesia (mereka menyamar sebagai
pedagang kelontong dan lain sebagainya yang keluar masuk kampung), penjajah
Jepang telah mengetahui bahwa bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam
serta menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, semuanya ta'at, patuh dan tunduk
kepada komando yang diberikan oleh para ulama'.
Oleh karena itu, penjajah Jepang ingin
merangkul para ulama' untuk memukul bangsa Indonesia sendiri. Itulah sebabnya,
maka dengan berbagai macam dalih dan alasan, penjajah Jepang meminta kepada
para ulama' agar memerintahkan kepada para pemuda untuk memasuki dinas militer,
seperti Peta, Heiho dan lain sebagainya.
Sedang Nahdlatul Ulama' sendiri mempunyai
maksud lain, yaitu bahwa untuk mencapai kemerdekaan Indonesia dan
mempertahankan kemerdekaan, mutlak diperlukan pemuda-pemuda yang terampil
mempergunakan senjata dan berperang. Untuk itu Nahdlatul Ulama' berusaha
memasukkan pemuda-pemuda Ansor dalam dinas Peta dan Hisbullah. Sedangkan untuk
kalangan kaum tua, Nahdlatul Ulama' tidak melupakan untuk membentuk Barisan
Sabilillah dengan KH. Masykur sebagai panglimanya; meskipun sebenarnya selama
penjajahan Jepang NU telah dibubarkan. Jadi peran aktif NU selama penjajahan
Jepang adalah menggunakan wadah MIAI dan kemudian MASYUMI.
Masyumi menjelma sebagai Partai Politik
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia,
Nahdlatul Ulama' yang dibubarkan oleh penjajah Jepang bangkit kembali dan
mengajak kepada seluruh ummat Islam Indonesia untuk membela dan mempertahankan
tanah air yang baru saja merdeka dari serangan kaum penjajah yang ingin merebut
kembali dan merampas kemerdekaan Indonesia.
Rais Akbar dari Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama', Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari, mengeluarkana fatwa bahwa
mempertahankan dan membela kemerdekaan Indonesia adalah wajib hukumnya.
Seruan dan ajakan NU serta fatwa dari Rais
Akbar ini mendapat tanggapan yang positif dari ummat Islam; dan bahkan berhasil
menyentuh hati nurani arek-arek Surabaya, sehingga mereka tidak mau ketinggalan
untuk memberikan andil yang tidak kecil artinya dalam peristiwa 10 November '45
Pengurus Besar NU hampir sebulan lamanya
mencari jalan keluar untuk menanggulangi bahaya yang mengancam dari fihak
penjajah yang akan menyengkeramkan kembali kuku-kuku penjajahannya di
Indonesia.
Kelambanan NU dalam hal tersebut disebabkan
karena pada masa penjajahan Jepang NU hanya membatasi diri dalam
pekerjaan-pekerjaan yang bersifat agamis,sedang hal-hal yang menyangkut
perjuangan kemerdekaan atau berkaitan dengan urusan pemerintahan selalu
disalurkan dengan nama Masyumi.
Atas prakarsa Masyumi, di bawah pimpinan KH.
Abdul Wahid Hasyim, maka Masyumi yang pada masa penjajahan Jepang merupakan
federasi dari organisasi-organisasi Islam, mengadakan konggresnya di Yogyakarta
pada tanggal 7 November 1945. Pada konggres tersebut telah disetujui dengan
suara bulat untuk meningkatkan Masyumi dari Badan Federasi menjadi satu-satunya
Partai Politik Islam di Indonesia dengan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' sebagai
tulang punggungnya. Adapun susunan Dewan Pimpinan Partai Masyumi secara lengkap
adalah sebagai berikut:
Majlis Syura (Dewan Partai)
Ketua Umum : Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari
Ketua Muda I : Ki Bagus Hadikusuma
Ketua Muda II : KH. Abdul Wahid Hasyim
Ketua Muda III : Mr. Kasman Singodimejo
Anggota : 1. RHM. Adnan.
2. H.
Agus Salim.
3. KH.
Abdul Wahab Hasbullah.
4. KH.
Abdul Halim.
5. KH.
Sanusi.
6.
Syekh Jamil Jambek
Pengurus Besar
Ketua : Dr. Sukirman
Ketua Muda I : Abi Kusno Tjokrosuyono
Ketua Muda II : Wali Al Fatah
Sekretaris I :
Harsono Tjokreoaminoto
Sekretaris II : Prawoto Mangkusasmito
Bendahara : Mr. R.A. Kasmat
Nahdlatul Ulama Memisahkan Diri Dari Masyumi
Perpecahan yang terjadi dalam tubuh Partai
Masyumi benar-benar di luar keinginan Nahdlatul Ulama'. Sebab Nahdlatul Ulama'
selalu menyadari betapa pentingnya arti persatuan ummat Islam untuk mencapai
cita-citanya. Itulah yang mendorong Nahdlatul Ulama' yang dimotori oleh
KH.Abdul Wahid Hasyim untuk mendirikan MIAI, MASYUMI, dan akhirnya
mengorbitkannya menjadi Partai Politik. Bahkan Nahdlatul Ulama' adalah modal
pokok bagi existensi Masyumi, telah dibuktikan oleh Nahdlatul Ulama' pada
kongresnya di Purwokerto yang memerintahkan semua warga NU untuk beramai-ramai
menjadi anggota Masyumi. Bahkan pemuda-pemuda Islam yang tergabung dalam Ansor
Nahdlatul Ulama' juga diperintahkan untuk terjun secara aktif dalam GPII
(Gabungan Pemuda Islam Indonesia).
Akan tetapi apa yang hendak dikata, beberapa
oknum dalam Partai Masyumi berusaha dengan sekuat tenaga untuk menendang NU
keluar dari Masyumi. Mereka beranggapan bahwa Majlis Syura yang mempunyai
kekuasaan tertinggi dalam Masyumi sangat menyulitkan gerak langkah mereka dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan yang bersifat politis. Apalagi segala sesuatu
persoalan harus diketahui / disetujui oleh Majlis Syura, mereka rasakan sangat
menghambat kecepatan untuk bertindak. Dan mereka tidak mempunyai kebebasan
untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politik. Akhirnya
ketegangan hubungan antara ulama'/kyai dengan golongan intelek yang dianggap
sebagai para petualang yang berkedok agama semakin parah. Karena keadaan
semacam itu, maka para pemimpin PSII sudah tidak dapat menahan diri lagi.
Mereka mengundurkan diri dari Masyumi dan aktif kembali pada organisasinya;
sampai kemudian PSII menjadi partai.
Pengunduran diri PSII tersebut oleh
pemimpin-pemimpin Masyumi masih dianggap biasa saja. Bahkan pada muktamar
Partai Masyumi ke-IV di Yogyakarta yang berlangsung pada tanggal 15 - 19 Desember
1949, telah diputuskan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
Majlis Syura yang semula menjadi dewan yang tertinggi diubah menjadi Penasihat
yang tidak mempunyai hak veto; dan nasihatnya sendiri tidak harus dilaksanakan.
Sikap Masyumi yang telah merendahkan derajat
para ulama' tersebut dapat ditolelir oleh warga Nahdlatul Ulama'. Namun PBNU
masih berusaha keras untuk memperhatikan persatuan ummat Islam. Nahdlatul
Ulama' meminta kepada pimpinan-pimpinan Masyumi agar organisasi ini dikembalikan
menjadi Federasi Organisasi-Organisasi Islam, sehingga tidak menyampuri urusan
rumah tangga dari masing-masing organisasi yang bergabung di dalamnya. Namun
permintaan ini tidak digubris, sehingga memaksa Nahdlatul Ulama' untuk
mengambil keputusan pada muktamar NU di Palembang, tanggal: 28 April s/d 1 Mei
1952 untuk keluar dari Masyumi, berdiri sendiri dan menjadi Partai.
Nahdlatul Ulama' membentuk Liga Muslimin
Setelah Nahdlatul Ulama' keluar dari Masyumi,
Jam'iyyah NU yang sudah menjadi Partai Politik ternyata masih gandrung pada
persatuan ummat Islam Indonesia. Untuk itu Nahdlatul Ulama' mengadakan kontak
dengan PSII dan PERTI membentuk sebuah badan yang berbentuk federasi dengan
tujuan untuk membentuk masyarakat Islamiyah yang sesuai dengan hukum-hukum
Allah dan sunnah Rasulullah saw. Gagasan NU ini mendapat tanggapan yang positif
dari PSII dan PERTI, sehingga pada tanggal 30 Agustus 1952 diakan pertemuan
yang mengambil tempat di gedung Parlemen RI di Jakarta, lahirlah Liga Muslimin
Indonesia yang anggautanya terdiri dari Nahdlatul Ulama', PSII, PERTI dan Darud
Dakwah Wal Irsyad.
Dekade 1965
Selama Nahdlatul Ulama' menjadi Partai Islam,
dalam gerak langkah nya mengalami pasang naik dan juga ada surutnya. Saat kabut
hitam melingkupi awan putih wilayah nusantara pada tanggal 30 September 1965,
kepeloporan Nahdlatul Ulama' muncul dan mampu mengimbangi kekuatan anti Tuhan
yang menamakan dirinya PKI (Partai Komunis Indonesia). Sikap Nahdlatul Ulama'
pada saat itu betul-betul sempat membuat kejutan pada organisasi-organisasi
selain NU.
Keberhasilan Nahdlatul Ulama' dalam
menumbangkan PKI dapat diakui oleh semua fihak. Dan hal ini menambah
kepercayaan Pemerintah terhadap Nahdlatul Ulama'. Nahdlatul Ulama' sebagai
Partai Politik sudah membuat kagum dan dikenal serta disegani oleh setiap orang
di kawasan Indonesia, bahkan oleh dunia internasional. Apalagi mampu
menumbangkan dan menumpas pemberontakan Partai Komunis yang belum pernah dapat
ditumpas oleh negara yang manapun di seluruh dunia. Sehingga dengan demikian,
Nahdlatul Ulama' dihadapkan kepada permasalahan-permasalahan yang sangat
komplek dengan berbagai tetek-bengeknya. Namun Nahdlatul Ulama' sendiri dalam
hal rencana perjuangannya yang terperinci, mengalami pembauran kepentingan
partai dengan kepentingan pribadi dari para pimpinannya. Oleh sebab itu, pada
sekitar tahun 1967, Nahdlatul Ulama' yang sudah berada di puncak mulai menurun.
Hal ini disebabkan antara lain oleh pergeseran tata-nilai, munculnya
tokoh-tokoh baru, ketiadaan generasi penerus dan lain sebagainya.
Pergeseran tata-nilai ini terjadi di saat
Nahdlatul Ulama' menghadapi Pemilihan Umum tahun 1955. Nahdlatul Ulama' harus
mempunyai anggauta secara realita, terdaftar dan bertanda anggauta secara
pasti. Demi pengumpulan suara, maka apa-apa yang menjadi tujuan Nahdlatul
Ulama', kini dijadikan nomor dua. Partai Nahdlatul Ulama' membutuhkan anggauta
sebanyak-banyaknya, sekalipun mereka bukan penganut aliran Ahlus Sunnah Wal
Jama'ah. Akibat dari pergeseran nilai inilah yang membuat kabur antara tujuan, alat
dan sarana. Sebagai Partai Politik yang militan, Nahdaltul Ulama' harus
berusaha agar dapat merebut kursi Dewan Perwakilan Rakyat sebanyak mungkin;
demikian pula halnya jabatan-jabatan sebagai menteri. Hal itu dimaksudkan
sebagai alat untuk dapat melaksanakan program dalam mencapai tujuan partai.
Akan tetapi karena pengaruh lingkungan dan juga karena pergeseran nilai, maka
jabatan-jabatan yang semula dimaksudkan sebagai alat yang harus dicapai dan
dimiliki, kemudian berubah menjadi tujuan. Dan hal ini sangat berpengaruh bagi
kemajuan dan kemunduran partai dalam mencapai tujuan.
Pada sekitar tahun 1967/1968, Nahdlatul Ulama'
mencapai puncak keberhasilan. Akan tetapi sayang sekali, justeru pada saat itu
ciri khas Nahdlatul Ulama telah menjadi kabur. Pondok Pesantren yang semula
menjadi benteng terakhir Nahdlatul Ulama' sudah mulai terkena erosi, sebagai
akibat perhatian Nahdlatul Ulama' yang terlalu dicurahkan dalam masalah-masalah
politik.
Penyederhanaan Partai-Partai
Pada pemilu tahun 1971, Nahdlatul Ulama' keluar
sebagai pemenang nomor dua. Hal tersebut membawa anggapan baru bagi masyarakat
umum bahwa sebenarnya kepengurusan Nahdlatul Ulama' adalah sebagai hal yang
luar biasa; sementara di pihak lain terdapat dua partai yang tidak mendapatkan
kursi sama sekali, yaitu Partai MURBA dan IPKI, yang berarti aspirasi
politiknya terwakili oleh kelompok lain. Dari sinilah timbul gagasan untuk
menyederhanakan partai-partai politik.
Kehendak menyederhanakan partai-partai politik
tersebut, datangnya memang bukan dari Nahdlatul Ulama'. Akan tetapi Nahdlatul
Ulama' menyambut dengan gembira. Dan dalam penyederhanaan tersebut Nahdlatul
Ulama' tidak membentuk federasi, akan tetapi melakukan fusi. Namun demikian,
ganjalan pun terjadi, karena memang masing-masing pihak yang berfusi mempunyai
tata-nilai sendiri-sendiri.
Bagaimanakah kenyataannya?
Kehidupan politik yang ditentukan oleh golongan
elit telah menyeret para pemimpin dan tokoh-tokoh Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' ke
dalam kehidupan elit. Padahal kehidupan elit semacam ini tidak terdapat dalam
tubuh Nahdlatul Ulama'. Sehingga kehidupan elit ini sebagai barang baru yang
berkembang biak dan hidup subur di kalangan Nahdlatul Ulama'. Maka timbullah
pola pemikiran baru yang mengarah kepada kehidupan individualis, agar tidak tergeser
dari rel yang menuju kepada kehidupan elit. Dari fusi inilah rupa-rupanya yang
membuat parah kondisi yang asli dari Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' sejak mula
pertama didirikan sebagai jam'iyyah.
Nahdlatul Ulama' Kembali Kepada Khittah An
Nahdliyah
Selama Nahdlatul Ulama' berfusi dalam tubuh
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), tata-nilai semakin berjurang lebar;
sementara dalam tubuh Nahdlatul Ulama' sendiri terdapat banyak ketimpangan dan
kesimpang-siuran. Dalam kurun waktu yang lama, secara tidak disadari, Nahdlatul
Ulama' telah menjadi kurang peka dalam menanggapi dan mengantisipasi
perkembangan keadaan, khususnya yang menyangkuat kepentingan ummat dan bangsa.
Salah satu sebabnya adalah ketelibatan Nahdlatul Ulama' secara berlebihan dalam
kegiatan politik praktis; yang pada gilirannya telah menjadikan Nahdlatul
Ulama' tidak lagi berjalan sesuai dengan maksud kelahirannya, sebagai jam'iyyah
yang ingin berkhidmat secara nyata kepada agama, bangsa dan negara. Bahkan hal
tersebut telah mengaburkan hakekat Nahdlatul Ulama' sebagai gerakan yang
dilakukan oleh para ulama'. Tidak hanya sekedar itu saja yang sangat
menyulitkan Nahdlatul Ulama' dalam kancah politik selama berfusi dalam PPP;
akan tetapi silang pendapat di kalangan NU sendiri semakin tajam, sehingga
sempat bermunculan berbagai hepothesa tentang bagaimana dan siapa sebenarnya
Nahdlatul Ulama'.
Dari kejadian demi kejadian dan bertolak dari
keadaan tersebut, maka sangat dirasakan agar Nahdlatul Ulama' secepatnya
mengembalikan citranya yang sesuai dengan khittah Nahdlatul Ulama' tahun 1926.
Hal ini berarti bahwa Nahdlatul Ulama' harus melepaskan diri dari kegiatan
politik praktis secara formal, seperti yang telah diputuskan dalam Musyawarah
Alim Ulama' Nahdlatul Ulama' (Munas NU) di Pondok Pesantren Salafiyah
Syafi'iyyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur tahun 1982. (Drs. KH. Achmad
Masduqi).
Diorama Kelahiran NU
Nahdlatul Ulama yang lahir 31 Januari 1926 (16
Rajab 1344 H) menyimpan sejarah kelahiran yang berliku. Selain menghadang arus
modernisasi pemikiran yang bertentangan dengan kaum tradisionalis, juga menjadi
wadah para ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal
muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin)
Kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta (21-27
Agustus 1925) dan kongres Al-Islam kelima di Bandung (5 Februari 1926), kedua
rapat akbar umat Islam Indonesia ini untuk memilih utusan untuk menghadiri
Kongres Islam se-Dunia di Mekah. Kongres Al-Isalam di Yogyakarta dan Bandung
sangat didominasi oleh kalangan Islam modernis. Bahkan sebelum kongres di
Bandung itu kalangan modernis sudah mengadakan pertemuan terlebih dahulu (8-10
Januari 1926) yang salah satu keputusannya menetapkan H.O.S. Tjokroaminoto dari
Sarekat Islam dan KH Mas Mansur dari Muhammadiyah sebagai utusan untuk
menghadiri kongres di Mekah.
KH A Wahab Chasbullah dari kalangan
tradisionalis yang "disingkirkan" dalam perhelatan itu, mencoba
mengajukan usul-usul atas aspirasi Islam tradisonalis agar Raja Ibnu Saud
menghormati tradisi keagamaan seperti membangun kuburan, membaca doa seperti
Dalailul Khayrat, ajaran madzhab, termasuk tradisi yang menggurat di Mekah dan
Madinah. Tetapi usul-usul tersebut nampaknya dikesampingkan oleh kalangan
modernis. (lihat alKisah, No 4/IV/2006, rubrik Sejarah; Harlah NU: Menghadang
Langkah Wahabi, hal 68-72).
Akhirnya Kiai Wahab beserta tiga orang
pengikutnya meninggalkan kongres dan mengambil inisiatif tersendiri dengan
mengadakan rapat-rapat di kalangan ulama senior. Musyawarah-musyawarah kecil
itu awalnya hanya melibatkan beberapa tokoh yang datang dari sekitar daerah
Ampel, Kawatan, Bubutan, Sawahan dan daerah sekitarnya, semuanya kebanyakan
dari Surabaya. Uniknya, rapat semacam itu dilakukan di sebuah mushala yang
didirikan oleh H. Musa. Mushala itu terletak Jalan Ampel Masjid (sekarang menjadi
Jl Kalimas Udik).
Baru setahun kemudian, tepatnya pada 31 Januari
1926 (16 Rajab 1344 H), dalam sebuah pertemuan di rumah Kiai Wahab di kampung
Kawatan, Surabaya, yang dihadiri sejumlah ulama dari beberapa pesantren besar
di Jawa Tengah dan Jawa Timur, para kiai sepuh sepakat mendirikan Komite Hijaz
untuk mengantisipasi gerakan Wahabi, yang didukung secara politik oleh Raja
Ibnu Saud.
Pertemuan bersejarah itu memang dihadiri oleh
beberapa ulama senior yang berpengaruh, seperti KH Hasjim Asj'ari dan KH Bisri
Syamsuri (Jombang), KH R. Asnawi (Kudus), KH Ma'sum (Lasem, Rembang) KH Nawawi
(Pasuruan), KH Nahrowi, KH. Alwi Abdul Aziz (Malang), KH Ridlwan Abdullah, KH
Abdullah Ubaid (Surabaya), KH Abdul Halim (Cirebon), KH Muntaha (Madura), KH
Dahlan Abdul Qohar (Kertosono), KH Abdullah Faqih (Gresik) dan lain-lain.
(sumber: Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, Khitthah Nahdhlatul Ulama, Surabaya,
Lajnah Ta'lif Wan Nasr, t.t hal 10-11).
Ketua HBNO
Pertemuan para ulama di kediaman Kiai Wahab itu
juga menyepakati pembentukan sebuah jam'iyah sebagai wadah para ulama dalam
memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan
kaum muslimin). Jam'iyah itu diberi nama Nahdlatoel Oelama (kebangkitan kaum
ulama), yang antara lain bertujuan membina masyarakat Islam berdasarkan paham
Ahlusunnah wal Jama'ah seperti tertuang dalam Pasal 3 ayat a & b, (Statuten
Perkoempulan Nadlatoel Oelama 1926, HBNO, Soerabaia, 1344 H), yakni:
"Mengadakan perhoebungan di antara oelama-oelama jang bermadzhab" dan
"memeriksa kitab-kitab sebeloemnya dipakai oentoek mengadjar, soepaja
diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitab Ahli Soennah wal Djama'ah atau
kitab Ahli Bid'ah."
Dalam forum ulama yang cukup sederhana itu,
Haji Hasan Gipo (1869-1934) ditunjuk oleh KH Wahab Chasbullah menjadi ketua
Tanfidziyah HBNO (Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama) dengan diampingi KH Rois
Said (Paneleh, Surabaya) sebagai Rois Syuriah. Pertemuan tersebut juga
memutuskan, mengirim delegasi (Komite Hijaz) antara lain: KH Wahab Hasbullah
(Jombang), KH Khalil Masyhudi (Lasem) dan Syekh Ahmad Ghunaim Al-Mishri untuk
menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Makkah sekaligus menemui Raja Ibnu Saud.
Mereka membawa pesan para ulama agar Ibnu Saud menghormati ajaran madzhab empat
dan memberikan kebebasan dalam menunaikan ibadah. Dalam jawaban tertulisnya,
Ibnu Saud hanya menyatakan akan menjamin dan menghormati ajaran empat madzhab
dan paham Ahlusunnah wal Jama'ah.
Sampai sekarang, riwayat ketua Tanfidziyah HBNO
pertama, yakni Haji Hasan Gipo, sangat sulit dilacak. Hanya saja sejarah
mencatat, kepengurusan duet H. Hasan Gipo dan KH. Rois Said berlangsung selama
3 tahun. Menurut buku Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, Yayasan
Saifuddin Zuhri dan penerbit Mizan, 1998 hal 49-54 menyebutkan, Hasan Gipo lahir
di daerah Kampung Sawahan (sekarang Jl. Kalimas Udik). Ia masih keturunan
keluarga besar dari "marga" Gipo sehingga nama Gipo diletakan di
belakang nama Hasan. Nama Gipo sebenarnya merupakan singkatan Sagipoddin dari
bahasa Arab Saqifuddin, saqaf (pelindung)
dan al-dien (agama). Jika dirunut silsilahnya, Hasan Gipo masih punya hubungan
keluarga dengan KH. Mas Mansyur, salah seorang pendiri Muhammadiyah, yang juga
adalah keturunan Abdul Latief Gipo.
Gipo yang berdarah Arab, merupakan saudagar
kaya di daerah komplek Ampel, Surabaya. Hingga kampung tempat Gipo kemudian
dikenal dengan Gang Gipo dan keluarga ini mempunyai makam kelaurga yang dinamai
makam keluarga, makam Gipo di kompleks Masjid Ampel. Gang Gipo sendiri kini
berubah menjadi Jalan Kalimas Udik.
Sebagai orang yang punya keturunan Arab, Hasan
Gipo digambarkan bertubuh sedikit besar, berbadan gemuk dan berkumis. Ia
dikaruniai tiga putra dan wafat pada tahun 1934. Sebagian keturunan Hasan Gipo
kini tinggal di daerah Wonokromo, Surabaya dan Gresik. Baru sesudah Muktamar IV
di Semarang (1348 H/1929 M), H. Hasan Gipo digantikan oleh KH Noor (Sawah Pulo,
Surabaya) yang didampingi KH Hasyim Asya'ri sebagai Rois Akbar HBNO dengan KH
Wahab Chasbullah sebagai Katib 'Am. (Sumber: surat permintaan pengakuan pengajuan
pendirian NO pada 5 September 1929 M oleh kuasa Nahdlatoel Oelama yakni KH Said
bin Saleh). Pemerintah Hindia Belanda baru merespon permintaan tersebut pada
tanggal 6 Februari 1930 dan masuk dalam besluit (Surat Keputusan)
Goebernoer-Djendral (GD) Nomor I x.23.1930. Dalam Statuten itu juga berisi
Anggaran Dasar NO yang terdiri 12 pasal yang ditulis dengan dwi bahasa; Belanda
dan Indonesia. Yang mengesahkan Badan Hukum NO atas nama GD Hindia-Nederland
adalah GR. ERDBINK. Sayang, dokumen penting ini kini berada di Universitas
Leiden, Belanda.
Kantor HBNO
Presiden HBNO pertama, H. Hasan Gipo, menempati
sebuah rumah yang sederhana sebagai sekretariat di Jl. Sasak no 32, Surabaya
sampai tahun 1945. Selain HBNO, badan otonom NO yakni barisan pemuda Anshor
berkantor di Jl Bubutan 6/2, Surabaya. Ketika Surabaya direbut Belanda dan
menyusul meletusnya perlawanan rakyat melawan penjajah pada 10 November 1945.
KH Muhammad Dahlan, Konsul NO Jawa Timur memindahkan ke Jl. Pengadangan 3,
Kabupaten Pasuruan. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda I (1947) dan Pasuruan
jatuh ke tangan Belanda, KH Mohammad Dahlan kembali memindahkan kantor HBNO ke
Jl. Dr. Soetomo No 9, Madiun. Setahun kemudian, September 1948 meletus
pemberontakan PKI Madiun dan disusul dengan Angresi Militer Belanda II.
Akhirnya kantor PBNU kembali dipindahkan ke Surabaya.
Sejak ibukota Republik Indonesia kembali ke
Jakarta, 1950, PBNO juga ikut pindah ke Jakarta. Ruangan kantor PBNO terletak
di Jl Menteng Raya 24, kira-kira 300 meter sebelah timur stasiun Gambir.
Ruangan tersebut adalah bagian dari Kantor Dagang 'Waras', sebuah perusahaan
dagang milik orang-orang NO yakni Wahid Hasyim, Zainul Arifin dan Achsien.
Sekalipun berpindah-pindah kantor, NO telah
menjelma menjadi 'bayi raksasa'seperti yang telah diramalkan KH Cholil,
Bangkalan. Pengurus Cabang dan Wilayah secara cepat telah tersebar hampir di
seluruh wilayah Indonesia dan menadapat dukungan yang luas dari para Kiai serta
santri pesantren salaf. Tak mengherankan jika pada Pemilu 1955, dalam tempo
kurang dari tiga tahun persiapan, NO mampu menduduki tiga dari the big four
(empat besar) pemenang pemilu dengan jumlah pemilih 6.955.141 suara; setelah
PNI dan Masyumi, posisi keempat ditempati PKI.
Tentu, untuk ukuran sebuah organisasi sosial
kemasyarakatan dan partai politik Islam terbesar di Indonesia, kantor NO di
Menteng Raya sudah sangat tidak layak. Pada 1956, KH Saifuddin Zuhri sewaktu
menjabat Sekjen PBNO meminta KH Mohammad Dahlan untuk mencari tempat yang lebih
layak. Dua minggu kemudian, Dahlan melapor kepada KH Saifuddin Zuhri bahwa
calon gedung PBNO terletak di Jl. Kramat Raya No 164.
Ketika melihat bangunan fisiknya, Saifuddin
merasa kurang cocok dengan gedung itu. Baginya, gedung tersebut hanya layak
sebagai toko. Dahlan terus meyakinkan Saifuddin bahwa letak yang strategis dan
harganya juga murah, cuma Rp 1.250.000,- dan dapat diangsur dua kali. Menurut
KH Mohammad Dahlan, sulit mencari gedung yang baik dan harga terjangkau PBNO
karena kondisi keuangan PBNO waktu itu kurang menggembirakan. (sumber: Buku
Berangkat Dari Pesantren, KH Saifuddin Zuhri, PT Gunung Agung, 1987).
Selain itu ada cerita menarik lainnya, dahulu
KH Mohamad Dahlan dan KH Saifuddin Zuhri mempunyai kesukaan yang sama yakni
makan sup, gulai dan sate kambing di Jl. Raden Saleh yang terkenal sangat
nikmat. Mengapa Dahlan ngotot memilih gedung di Jl Kramat 164 sebagai kantor
PBNU, menurut Subhan ZE kepada KH Saifuddin Zuhri."Letaknya kan hanya
300-400 meter dari warung makan (RM di Jl. Raden Saleh) langganan kita," kata
Dahlan kepada Subchan ZE dengan tertawa terkekeh-kekeh.
Tanpa disadari sebelumnya, kantor PBNU itu
ternyata berhadapan dengan CC-PKI. Seperti diketahui Jalan Kramat Raya itu
memanjang dari ujung paling utara di Senen Raya dan ujung paling selatan di
Salemba Raya. Di jalan strategis dan sibuk itu 4 partai politik menempatkan
kantor mereka. Pada satu deretan berjarak antara 200-300 meter berdiri kantor
DPP Masyumi, CC PKI persis di muka PBNU, mendekati Salemba Raya berdiri kantor
DPP-PNI.
Hingga kini, setelah 60 tahun lebih berselang,
gedung di Jl Kramat Raya 164 tetap dimanfaatkan sebagai kantor PBNU. 1999
sewaktu KH. Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Presiden RI, gedung PBNU
direnovasi menjadi gedung megah berlantai delapan.
Medio Rojab, 86 Tahun yang Lalu
Kota Surabaya,
kala itu masih berada dalam wilayah kekuasaan Belanda. Hari menunjukkan tanggal
16 Rajab 1344 H, tepat 86 tahun silam. Puluhan ulama' kharismatik berkumpul di
Kota itu. Mereka bersepakat untuk meneguhkan misi kenabian di Indonesia yang
diemban di pundak para ulama. Mereka berkumpul dibawah pimpinan seorang ulama'
besar Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy'ary, dari Pondok Tebuireng, Jombang. Dan
dengan hati ikhlas, didasari kewajiban berda'wah dan menebar persatuan di
antara para ulama menghadapi berbagai ancaman agama, mereka mendirikan
Jam'iyyah Nahdlatul Oelama (NO).
Jam'iyyah ini bukan organisasi biasa. Tak hanya
didirikan berdasarkan pertimbangan strategis semata. Tetapi lebih dari itu.
Para muassis menyiapkan jam'iyyah ini secara dzahir, juga batin. dari faktor
spiritual, lahirnya NU, diawali dengan proses istikharah dua tahun lebih atas
permohonan Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari kepada KH Kholil Bangkalan dengan
tujuan meminta petunjuk kepada Allah agar diberi jalan terbaik untuk
melestarikan perjuangan para Ulama mempertahankan aqidah Islam ahlussunnah wal
jamaah. Pada tahun 1924 , KH Kholil Bangkalan menyampaikan hasil istikharah ke
Jombang dengan mengutus santri yang bernama As'ad Syamsul Arifin.
Ada isyarat istikharah yaitu sebuah tongkat
disertai surat THOHA ayat 17 s/d 23 antara lain ayatnya "WA MAA TILKA
BIYAMIINIKA YAA MUUSAA , QOOLA HIYA 'ASHOOYA…" . Pada akhir Desember 1925,
yakni detik-detik menjelang kelahiran NU ada hasil istikharah kedua dari
Bangkalan dan dikirim kembali ke Jombang lewat santri kesayangan Mbah Kholil
berbentuk tasbih yang dikalungkan di leher santri As'ad Syamsul Arifin . Setiba
di Jombang seuntai tasbih itu diambil langsung oleh Mbah Hasyim, sambil ditanya
apa ada titipan lain, dijawab "ada bacaan" YAA JABBAAR, YAA QOHHAAR
3X . Sebuah isyarat keperkasaan. Hasil isyarat istikharah itu bagi Mbah Hasyim
sudah cukup, sebagai bahan pertimbangan bahwa "Komite Hijaz" untuk
diubah menjadi Jam'iyyah yang bersifat permanen dan diberi nama "NAHDLATUL
ULAMA" atas usul KH Abdul Aziz, dengan tujuan utama melaksanakan misi
Rasulullah yakni "RAHMATAL LIL 'ALAMIN" . Tetap perkasa dan tetap
berpegang pada tongkat komando para ulama untuk senantiasa bangkit dan
berkhidmat kepada umat dan bangsa .
Paham Keagamaan
Nahdlatul Ulama (NU) menganut paham Ahlussunah
Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli
(rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber
pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan
kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu
dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur
Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat
madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf,
mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan
antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1984,
merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal
Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih
maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan
tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial
dalam NU.
Sikap Kemasyarakatan
Nahdlatul Ulama (NU) menganut paham Ahlussunah
Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli
(rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber
pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan
kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu
dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur
Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat
Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf,
mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan
antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali ke Khittah pada tahun 1984,
merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal
Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih
maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan
tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial
dalam NU.
Basis Pendukung
Jumlah warga Nahdlatul Ulama (NU) atau basis
pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 40 juta orang, dari beragam
profesi. Sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun
di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial-ekonomi
memiliki masalah yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran
Ahlusunnah Wal Jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan
dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran,
sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi. Warga NU di desa
banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Jika selama ini basis
NU lebih kuat di sektor pertanian di pedesaan, maka saat ini, pada sektor
perburuhan di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya
sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan
dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini.
Dinamika
Prinsip-prinsip dasar yang dicanangkan
Nahdlatul Ulama (NU) telah diterjemahkan dalam perilaku kongkrit. NU banyak
mengambil kepeloporan dalam sejarah bangsa Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa
organisasi ini hidup secara dinamis dan responsif terhadap perkembangan zaman.
Prestasi NU antara lain:
1. Menghidupkan kembali gerakan pribumisasi
Islam, sebagaimana diwariskan oleh para walisongo dan pendahulunya.
2. Mempelopori perjuangan kebebasan bermadzhab
di Mekah, sehingga umat Islam sedunia bisa menjalankan ibadah sesuai dengan
madzhab masing-masing.
3. Mempelopori berdirinya Majlis Islami A'la
Indonesia (MIAI) tahun 1937, yang kemudian ikut memperjuangkan tuntutan
Indonesia berparlemen.
4. Memobilisasi perlawanan fisik terhadap kekuatan
imperialis melalui Resolusi Jihad yang dikeluarkan pada tanggal 22 Oktober
1945.
5. Berubah menjadi partai politik, yang pada
Pemilu 1955 berhasil menempati urutan ketiga dalam peroleh suara secara
nasional.
6. Memprakarsai penyelenggaraan Konferensi
Islam Asia Afrika (KIAA) 1965 yang diikuti oleh perwakilan dari 37 negara.
7. Memperlopori gerakan Islam kultural dan
penguatan civil society di Indonesia sepanjang decade 90-an.
Tujuan Organisasi
Menegakkan ajaran Islam menurut paham
Ahlussunnah Wal Jama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Usaha Organisasi
1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah
Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat
persatuan dalam perbedaan.
2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan
pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang
bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.
3. Di bidang sosial-budaya, mengusahakan
kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai ke-Islaman dan
kemanusiaan.
4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan
kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya
ekonomi rakyat.
5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat
bagi masyarakat luas.
Kepengurusan
Kepengurusan PBNU 2010-2015
MUSTASYAR
Prof Dr KH Tholchah Hasan
KH Muchit Muzadi
KH Maemun Zubair
KH Ma’ruf Amin
KH Idris Marzuki
KH E Fakhrudin Masturo
KH Chotib Umar
KH Dimyati Rois
Tuan Guru Turmudzi Badruddin
Dr HM Jusuf Kalla
KH Abdurrahim Mustafa
Prof Dr KH Maghfur Usman
Prof Dr Nasaruddin Umar, MA
KH Sya’roni Ahmadi
Prof Dr Ridhwan Lubis
KH Muiz Kabri
KH Mahfudl Ridwan
Dr Ing H Fauzi Bowo
KH A Syatibi
Kepengurusan Rais Syuriyah PBNU 2010-2015
Rais Aam
: Dr KH Sahal Mahfudh
Wakil Rais Am
: KH A Mustofa Bisri
Rais : KH Habib Lutfi bin Hasyim
bin Yahya
Rais : KH A.G.H Sanusi Baco
Rais : Dr KH Hasyim Muzadi
Rais : KH Masduqi Mahfudh
Rais : KH Hamdan Kholid
Rais : KH Masdar F Mas’udi
Rais : KH Mas Subadar
Rais : Prof Dr H Machasin
Rais : Prof Dr KH Ali Mustofa
Yakub
Rais : Prof Dr H Artani Hasbi
Rais : KH Ibnu Ubaidillah Syatori
Rais : KH Saifuddin Masir, MA
Rais : KH Adib Rofiuddin Izza
Rais : KH Ahmad Ishomuddin, M.Ag
Katib Aam : Dr KH Malik Madani, MA
Katib : Drs KH Ichwan Syam
Katib : KH Mustofa Aqil
Katib : KH Kafabihi Mahrus Ali
Katib : KH Yahya Staquf Cholil
Katib : Drs. H. Shalahuddin
Al-Ayyubi, MSi
Katib : Afifuddin Muhajir
Katib : H Mujib Qolyubi M.Hum.
Pengurus Tanfidziyyah PBNU 2010-2015:
Ketua Umum
: Dr KH Said Aqil Siroj, MA
Waketum : Drs H As’ad Said Ali
Ketua : Drs H Slamet Effendy Yusuf,
MSi
Ketua : KH Hasyim Wahid Hasyim (Gus
Im)
Ketua : KH Abbas Muin, MA
Ketua : Drs H Muh. Salim al-Jufri
Ketua : Prof Dr. H Maksum Mahfudz
Ketua : Prof Dr. Maidir Harun
Ketua : Drs. H. Syaifullah Yusuf
Ketua : Drs. M. Imam Aziz
Ketua : Drs. H Hilmi Muhammadiyah
Ketua : Drs. H. Abdurrahman, M.Pd
Ketua : Drs H Arvin Hakim Thoha
Ketua : Dr. KH. Marsudi Syuhud
Ketua : Prof Dr. Kacung Marijan
Ketua : H Dedi Wahidi, S.Pd, M,Si
Sekjen : Ir HM. Iqbal Sullam
Wasekjen : Drs. Enceng Sobirin
Wasekjen : Drs. Abdul Mun’im Dz
Wasekjen : Dr. H. Aji Hermawan
Wasekjen : Dr. H. Affandi Muchtar
Wasekjen : Dr. dr. Syahrizal Syarif, MPH
Wasekjen : Dr. H. Hanif Saha Ghofur
Wasekjen : Imdadun Rahmat, MA
Bendahara
: Dr. H. Bina Suhendra
Wabendum
: Dr. H. Abidin, H.H
Wabendum
: Nasirullah Falah
Wabendum
: H Raja Sapta Ervian, SH, M.Hum
Wabendum
: Hamid Wahid Zaini, M.Ag
STRUKTUR DAN PERANGKAT ORGANISASI NU
Struktur Organisasi Nahdlatul Ulama terdiri
dari :
a. Pengurus Besar (tingkat Pusat)
b. Pengurus Wilayah. (tingkat Propinsi)
c. Pengurus Cabang/Pengurus Cabang Istimewa.
(tingkat Kab./Kota)
d. Pengurus Majelis Wakil Cabang.(tingkat
Kecamatan)
e. Pengurus Ranting. (tingkat Desa/Kelurahan)
KEPENGURUSAN
Kepengurusan Nahdlatul Ulama terdiri dari
Mustasyar, Syuriyah & Tanfidziyah.
- Syuriyah adalah pimpinan tertinggi Nahdlatul
Ulama.
- Tanfidziyah adalah pelaksana.
1. Pengurus Besar Nadhlatul Ulama terdiri dari
:
a. Mustasyar Pengurus Besar.
b. Pengurus Besar Harian Syuriyah.
c. Pengurus Besar Lengkap Syuriyah.
d. Pengurus Besar Harian Tanfidziyah.
e. Pengurus Besar Lengkap Tanfidziyah.
f. pengurus Besar Pleno.
2. Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama terdiri
dari :
a. Mustasyar Pengurus Wilayah.
b. Pengurus Wilayah Harian Syuriyah.
c. Pengurus Wilayah Lengkap Syuriyah.
d. Pengurus Wilayah Harian Tanfidziyah.
e. Pengurus Wilayah Lengkap Tanfidziyah.
f. Pengurus Wilayah Pleno.
3. Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama terdiri dari
:
a. Mustasyar Pengurus Cabang.
b. Pengurus Cabang Harian Syuriyah.
c. Pengurus Cabang Lengkap Syuriyah.
d. Pengurus Cabang Harian Tanfidziyah.
e. Pengurus Cabang Lengkap Tanfidziyah.
f. Pengurus Cabang Pleno.
4. Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama
terdiri dari:
a. Mustasyar Pengurus Cabang.
b. Pengurus Cabang Harian Syuriah.
c. Pengurus Cabang Lengkap Syuriah.
d. Pengurus Cabang Harian Tanfidziyah.
e. Pengurus Cabang Lengkap Tanfidziyah.
f. Pengurus Cabang Pleno.
5. Pengurus Majelis Wakil Cabang Nahdlatul
Ulama terdiri atas:
a. Mustasyar Pengurus Majelis Wakil Cabang.
b. Pengurus Majelis Wakil Cabang Harian
Syuriyah.
c. Pengurus Majelis Wakil Cabang Lengkap
Syuriyah.
d. Pengurus Majelis Wakil Cabang Harian
Tanfidziyah.
e. Pengurus Majelis Wakil Cabang Lengkap
Tanfidziyah.
f. Pengurus Majelis Wakil Cabang Pleno.
6. Pengurus Ranting Nadhlatul Ulama terdiri
atas:
a. Pengurus Ranting Harian Syuriyah.
b. Pengurus Ranting Lengkap Syuriyah.
c. Pengurus Ranting Harian Tanfidziyah.
d. Pengurus Ranting Pleno.
PERMUSYAWARATAN
1. Permusyawaratan tingkat nasional di
lingkungan Nahdlatul Ulama adalah:
a. Muktamar.
b. Muktamar Luar Biasa.
c. Konferensi Besar.
d. Musyawarah Nasional Alim Ulama.
e. Rapat Koordinasi Nasional.
2. Permusyawaratan untuk kepengurusan tingkat
daerah meliputi:
a. Konferensi Wilayah.
b. Musyawarah Kerja Wilayah.
c. Konferensi Cabangl Konferensi Cabang
Istimewa.
d. Musyawarah Kerja Cabang /Musyawarah Kerja
Cabang Istimewa.
e. Konferensi Majelis Wakil Cabang.
f. Musyawarah Majelis Wakil Cabang.
g. Musyawarah Anggota.
Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi
Nahdlatul Ulama (NU) meliputi:
2. 31 Pengurus Wilayah
2. 339 Pengurus Cabang
2. 12 Pengurus Cabang Istimewa
2. 2.630 Majelis Wakil Cabang
2. 37.125 Pengurus Ranting
PERANGKAT NU
1. LEMBAGA-LEMBAGA
2. LAJNAH
3. BADAN OTONOM
Lembaga adalah perangkat departementasi
organisasi Nahdlatul Ulama yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan Nahdlatul
Ulama berkaitan dengan suatu bidang tertentu.
Lajnah adalah perangkat organisasi Nahdlatul
Ulama untuk melaksanakan program Nahdlatul Ulama yang memerlukan penanganan
khusus.
Badan Otonom adalah perangkat organisasi
Nahdlatul Ulama yang berfungsi melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama yang
berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu dan beranggotakan perorangan.
Pengurus Lembaga-Lajnah PBNU masa khidmah 2010-2015
Berikut ini adalah nama-nama pengurus
(ketua-sekretaris-bendahara) lembaga dan lajnah PBNU masa khidmah 2010-2015
yang dilantik oleh Rais Aam PBNU KH Sahal Mahfudh, Selasa (1/6) malam di
Jakarta.
1. RABITHAH MA’AHID ISLAMIYYAH (RMI)
Ketua : Dr. H. Amin Haidari
Sekretaris : Drs. Miftah Faqih, MA
Bendahara : Drs. Masrur Ainun Najih
2. LEMBAGA KEMASLAHATAN KELUARGA NAHDLATUL
ULAMA (LKKNU)
Ketua : Dr. Arif Mudatsir
Mandan, MA
Sekretaris : Drs. M. Andi Ilham
Bendahara : Syamsudin Rentua
3. LEMBAGA PENDIDIKAN MA’ARIF NAHDLATUL ULAMA
Ketua : Prof. Dr. Mansur
Ramli
Sekretaris : Dr. H. Mamat S.
Burhanuddin, MA.
Bendahara : Moh. Zamzami, M.Si
4. LEMBAGA PENGEMBANGAN PERTANIAN NAHDLATUL
ULAMA (LPP NU)
Ketua : Prof. Dr. Ahmad
Dimyati
Sekretaris : Imam Pituduh, SH, MH
Bendahara : Drs. H. Nusron Wahid
5. LEMBAGA PEREKONOMIAN NAHDLATUL ULAMA (LPNU)
Ketua : Drs. H. Muhyiddin
Arubusman
Sekretaris : Drs. H. Mustholihin Madjid
Bendahara : Erwin Aksa Mahmud
6.LEMBAGA DAKWAH NAHDLATUL ULAMA (LDNU)
Ketua
: Dr. KH. Zaki
Mubarok
Sekretaris : Drs. Nurul Yaqin
Bendahara : Drs. H. Harun Abdullah
7. LEMBAGA TA’MIR MASJID NAHDLATUL ULAMA
(LTMNU)
Ketua : KH. Abdul Manan A.
Ghani
Sekretaris
: Ibnu Hazen
Bendahara : Ir. Hari Yudiarto
8. LAJNAH TA’LIF WAN NASYR NAHDLATUL ULAMA
(LTNNU)
Ketua : H. M. Sulton Fatoni,
M.Si
Sekretaris : Ulil Hadrawi, M.Si
Bendahara : Muhammad S.Pd
9. LEMBAGA KAJIAN DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA
MANUSIA NAHDLATUL ULAMA (LAKPESDAM NU)
Ketua : Yahya Maksum
Sekretaris : Lilis Nurul Husna
Bendahara : Ahmad Miftah
10. LEMBAGA KESEHATAN NAHDLATUL ULAMA (LKNU)
Ketua : Dr. dr. Imam Rasyidi,
Sp.OG (k) OnK
Sekretaris : Dra. Anggia Ermarini, MPd
Bendahara : Drs. Altofurrahman
11. LEMBAGA AMIL ZAKAT NAHDLATUL ULAMA (LAZNU)
Ketua : KH. Masyhuri Malik
Sekretaris : Muhammad Zuhdi, MA
Bendahara : Agus Salim Thoyib
12. LEMBAGA WAQAF DAN PERTANAHAN NAHDLATUL
ULAMA (LWPNU)
Ketua : Ahmad Fayumi, MA
Sekretaris
: H. Faza Wirda
Bendahara : Yanuar Bagdja
13. LEMBAGA BAHTSUL MASA’IL NAHDLATUL ULAMA
(LBMNU)
Ketua : KH. Zulfa Musthofa
Sekretaris : KH. Drs. Miftahul Falah
Bendahara : H. Ali Mubarok, SE, MBA.
14. LEMBAGA BANTUAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA
(LBHNU)
Ketua : H. Andi Najmi Fu’ady,
SH
Sekretaris : Ahmad Rifai, SH
Bendahara : Zainul Mujahidin Syaichu
15. LAJNAH FALAKIYAH NAHDLATUL ULAMA (LFNU)
Ketua : KH. A. Ghozalie
Masroeri
Sekretaris : Nahari Muslih, SH
Bendahara : Ahmad Qorob, S.Pd
16. LEMBAGA SENIMAN BUDAYAWAN MUSLIMIN
INDONESIA (LESBUMI)
Ketua : Dr. Al-Zastrow Ngatawi
Sekretaris : Ir. Suwadi D. Pranoto
Bendahara : Baihaqi Saifuddin
17. LAJNAH PENDIDIKAN TINGGI NAHDLATUL ULAMA
(LPTNU)
Ketua : Dr. H. Noor Achmad, MA
Sekretaris : Dr. Muhammad Zain
Bendahara : Edi Kusnadi
18. LEMBAGA PENANGGULANGAN BENCANA DAN
PERUBAHAN IKLIM NAHDLATUL ULAMA (LPBINU)
Ketua : Ir. Avianto Muhtadi,
MM
Sekretaris : Drs. Sultonul Huda, M.Si
Bendahara : M. Ali Yusuf, SAg, Msi
Badan Otonom NU
Badan Otonom adalah perangkat organisasi Nahdlatul Ulama yang berfungsi melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu dan beranggotakan perorangan.
Badan Otonom NU adalah:
Badan Otonom adalah perangkat organisasi Nahdlatul Ulama yang berfungsi melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu dan beranggotakan perorangan.
Badan Otonom NU adalah:
1. Jam’iyyah Ahli Thariqah AI Mu’tabarah An-Nahdliyyah,
adalah Badan Otonom yang berfungsi membantu melaksanakan kebijakan Nahdlalul
Ulama pada pengikut tharekat yang mu’tabar di lingkungan Nahdlatul Ulama serta
membina dan mengembangkan seni hadrah.
2. Jam’iyyatul Qurra Wal Huffazh, adalah Badan Otonom
yang berfungsi membantu melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama pada kelompok
Qori/Qoriah dan Hafizh Hafizhah di lingkungan Nahdlatul Ulama.
3. Muslimat Nahdlatul Ulama disingkat Muslimah NU, adalah
Badan Otonom yang berfungsi membantu melaksanakan kebijakan Nahdlalul Ulama
pada anggota perempuan Nahdlatul Ulama.
4. Fatayat Nahdlatul Ulama disingkat Falayat NU, adalah
Badan Otonom yang berfungsi membanlu melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama
pada anggota perempuan muda Nahdlatul Ulama.
5. Gerakan Pemuda Ansor disingkat GP Ansor NU, adalah
Badan Otonom yang berfungsi membantu melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama
pada anggota pemuda Nahdlatul Ulama.
6. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama disingkat IPNU, adalah
Badan Otonom yang berfungsi membantu melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama
pada pelajar laki-Iaki dan santri laki-Iaki.
7. Ikatan Pelajar Putri Nahdlalul Ulama disingkal IPPNU,
adalah Badan Otonom yang berfungsi membantu melaksanakan kebijakan Nahdlatul
Ulama pada pelajar perempuan dan santri perempuan.
8. Ikatan Sarjana Nahdlalul Ulama disingkat ISNU adalah
Badan Otonom yang berfungsi membantu melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama
pada kelompok sarjana dan kaum intelektual di kalangan Nahdlatul Ulama.
9. Serikat Buruh Muslimin Indonesia disingkat Sarbumusi,
adalah Badan Otonom yang berfungsi melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di
bidang kesejahteraan dan pengembangan ketenagakerjaan.
10. Pagar Nusa, adalah Badan Otonom yang berfungsi
membantu melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama pada pengembangan seni bela
diri.
Komentar
Posting Komentar